Kaltimreport.com – Kalimantan Timur kembali dihadapkan pada isu serius mengenai kiprah organisasi masyarakat yang dinilai meresahkan. Salah satunya adalah Organisasi Masyarakat Gerakan Indonesia Bersatu (GRIB) yang kini menuai sorotan tajam dari legislatif. Komisi III DPRD Kaltim secara tegas menyuarakan penolakan terhadap keberadaan GRIB di wilayah tersebut, menyusul berbagai catatan pelanggaran yang dinilai mencederai tatanan hukum dan ekonomi daerah.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Jahidin, menilai kasus-kasus penyalahgunaan wewenang oleh oknum yang mengatasnamakan GRIB sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurutnya, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap legalitas dan aktivitas ormas-ormas semacam itu baik di daerah maupun pusat.
“Ini organisasi Grib kan nasional, kalau nggak salah di Sumatra juga dilakukan penolakan. Nah mungkin ini menjadi suatu kaca bagi baik pimpinan daerah maupun pusat untuk mengevaluasi kembali terkait ormas-ormas tersebut,” ujar Jahidin.
Ia menegaskan, meski tidak semua anggota GRIB terlibat dalam pelanggaran, namun keberadaan oknum yang menyalahgunakan nama organisasi telah mencoreng citra ormas secara keseluruhan.
“Karena memang banyak oknumnya yang menyalahgunakan label daripada ormas ini. Tetapi tidak bisa juga kita menggolongkan bahwa ormas itu tidak baik, itu perlakuan dari oknum masing-masing,” jelasnya.
Jahidin bahkan menyebut secara spesifik insiden penyegelan perusahaan oleh GRIB yang terjadi di Jakarta, dan telah berujung pada proses hukum terhadap beberapa pihak.
“Kita melihat dari Jakarta bahwa ormas GRIB ini pernah menyita suatu perusahaan, kalau nggak salah ada beberapa orang yang menjadi tersangka sekarang,” ungkapnya.
Tindakan seperti itu, lanjut Jahidin, adalah bentuk pelanggaran hukum yang tidak bisa ditoleransi. Ia menilai perbuatan tersebut melanggar baik secara perdata maupun pidana, dan telah menimbulkan kerugian yang tidak kecil.
“Perbuatan-perbuatan ini yang benar-benar melanggar hukum yang nyata, secara hukum perdata maupun pidana. Karena perusahaan yang awalnya produktif, lalu disegel/ditutup oleh ormas ini. Nah ini kalau tidak ada tindakan dari pemerintah, maka akan semakin menjadi-jadi dari suatu tempat ke tempat lain dan nanti akan dimanfaatkan dengan kebiasaan-kebiasaan itu,” paparnya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa perusahaan yang disegel harus tetap membayar gaji karyawan meskipun tidak berproduksi, yang artinya menanggung kerugian ganda.
“Kerugian perusahaan selama tidak produksi, serta menanggung beberapa karyawan, akan mengakibatkan kerugian secara keperdataan. Pelanggaran hukum pidananya termasuk merampas hak orang lain,” tambahnya.
Dari situ, Jahidin mendesak pemerintah melalui Kesbangpol agar selektif terhadap ormas-ormas baru yang ingin beroperasi di Kaltim. Ia secara terbuka menolak kehadiran GRIB di provinsi ini.
“Sehingga hal-hal itu harus dihindari oleh pemerintah, dan ke depan Kesbangpol harus lebih teliti lagi. Jadi saya berpendapat, tidak usah lagi ormas GRIB masuk di Kalimantan Timur karena ormas di Kaltim saja sudah banyak,” tegasnya.
Terkait wacana Gubernur Kaltim untuk membentuk satuan tugas anti-premanisme, Jahidin menyatakan dukungan penuh. Meski hukum sudah tersedia, Satgas dinilai penting sebagai penggabungan kekuatan yang lebih terkoordinasi.
“Sebetulnya kan payung hukum untuk penegakannya sudah ada, kita tinggal lihat aja, kalau memang dianggap ‘tidak bagus’ maka tidak perlu diberikan izin atau dicabut saja izinnya. Yang bagus aja kita pelihara, dan yang tidak benar kalau bisa dibekukan saja. Tapi, tidak ada salahnya kalau dibentuk satgas supaya satgas inikan di dalamnya terdapat gabungan dari beberapa pihak. Jadi kita sajalah apa yang menjadi ide Gubernur, selama itu dianggap bagus maka kita dukung bersama,” tutupnya.