Kaltimreport.com – Pernikahan merupakan ikatan sakral yang idealnya tercatat secara resmi untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasangan, terutama perempuan dan anak.
Namun, di tengah masyarakat, praktik pernikahan siri masih banyak terjadi, menimbulkan berbagai dampak sosial dan hukum.
Tanpa pencatatan resmi, perempuan dan anak sering kali menghadapi kesulitan dalam mengakses hak-hak mereka, termasuk administrasi kependudukan, pendidikan, hingga jaminan sosial.
Menyikapi hal ini, Komisi IV DPRD Kota Samarinda menggelar rapat dengar pendapat guna membahas dampak pernikahan siri serta langkah-langkah pengawasan yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko yang ditimbulkannya.
“Banyak kasus yang kami tangani berawal dari pernikahan siri, terutama yang berdampak pada perempuan dan anak. Regulasi sebenarnya sudah ada, Komisi IV memiliki perda tentang ketahanan keluarga,” ujarnya.
Ia menyoroti jumlah kasus isbat nikah yang tertunda di Pengadilan Agama, yang saat ini mencapai sekitar 3.000 kasus.
Mayoritas berasal dari pasangan yang menikah di usia muda dan menghadapi kesulitan dalam mengurus administrasi kependudukan.
Selain itu, peran penghulu liar dalam praktik pernikahan siri turut menjadi perhatian.
Menurutnya, jika pembuatan perda khusus tentang nikah siri sulit diwujudkan, maka pengawasan terhadap praktik tersebut harus diperketat.
“Jika perda khusus sulit, maka setidaknya perlu ada pengawasan lebih ketat terhadap pernikahan yang tidak tercatat secara resmi,” tegasnya.
Dampak sosial dari pernikahan siri juga dinilai signifikan, termasuk tingginya angka keterlantaran anak yang berujung pada kemiskinan.
Komisi IV DPRD Samarinda berharap seluruh perangkat daerah dapat terlibat aktif dalam mencari solusi atas persoalan ini.
“Diskusi ini harus terus berlanjut, dan semua pihak harus berperan dalam mencari solusi terbaik,” pungkasnya.