Ketidakpastian Hukum dalam Pernikahan Siri, DPRD Samarinda Angkat Bicara

ADVERTORIAL75 Dilihat

Kaltimreport.com – Pernikahan dini dan pernikahan siri masih menjadi fenomena yang sering terjadi di Kota Samarinda. Meskipun berbagai regulasi telah mengatur batas usia pernikahan, kenyataannya praktik ini tetap marak dengan berbagai faktor pemicu.

Tekanan sosial, kondisi ekonomi yang sulit, serta kurangnya pemahaman tentang pentingnya pencatatan pernikahan menjadi penyebab utama.

Dampaknya pun tidak bisa dianggap remeh, karena menyangkut masa depan pasangan yang menikah, terutama perempuan dan anak yang rentan terhadap berbagai permasalahan hukum serta ekonomi.

Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Ismail Latisi, menegaskan bahwa meskipun regulasi telah mengatur batas usia pernikahan, praktik pernikahan dini dan siri masih banyak terjadi.

“Kami melihat banyak dampak negatif dari pernikahan dini dan siri. Banyak perempuan dan anak yang akhirnya terjebak dalam ketidakpastian hukum serta ekonomi yang rentan. Ini harus menjadi perhatian bersama,” ujar Ismail.

Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam pertemuan ini adalah keberadaan penghulu liar.

Menurut Ismail, praktik pernikahan yang dilakukan oleh penghulu tidak resmi menjadi salah satu faktor yang mempermudah terjadinya pernikahan siri dan dini tanpa adanya pengawasan yang jelas.

“Masalah utama ada pada penghulu liar. Mereka memfasilitasi pernikahan tanpa pencatatan resmi, sehingga sulit bagi pasangan terutama perempuan dan anak untuk mendapatkan hak hukum yang seharusnya mereka miliki,” tegasnya.

Politikus PKS itu juga mengingatkan bahwa meskipun secara agama pernikahan siri dianggap sah, namun dalam konteks negara, pencatatan pernikahan adalah hal yang wajib untuk melindungi hak-hak pasangan dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

“Kita tidak bisa membenturkan hukum agama dengan hukum negara. Islam sendiri menganjurkan agar pernikahan diumumkan, bukan disembunyikan seperti yang sering terjadi dalam praktik pernikahan siri,” imbuhnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti aspek hukum terkait pernikahan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua.

Ismail menegaskan bahwa kasus semacam ini harus ditindak tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Jika ada pernikahan yang dilakukan tanpa izin orang tua, itu jelas pelanggaran hukum. Harus ada tindakan tegas untuk menertibkan praktik ini,” katanya.

Sebagai langkah konkret, Komisi IV DPRD Samarinda mempertimbangkan pembuatan peraturan daerah (perda) yang lebih spesifik untuk menekan angka pernikahan dini dan memperketat pengawasan terhadap pernikahan siri.

“Kami ingin mencari solusi terbaik. Jika perda khusus sulit diwujudkan, maka setidaknya pengawasan terhadap praktik pernikahan yang tidak tercatat harus diperketat,” tambahnya.

Ke depan, Komisi IV DPRD Samarinda berharap ada sinergi antara pemerintah, tokoh agama, serta masyarakat dalam menekan angka pernikahan dini dan siri.

“Kita tidak bisa mengabaikan masalah ini. Demi kemaslahatan masyarakat, semua pihak harus berperan aktif dalam memberikan edukasi dan pengawasan terhadap pernikahan dini serta pernikahan siri,” pungkas Ismail.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *