Kaltimreport.com – Sentralisasi kewenangan ke pemerintah pusat sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dinilai menjadi penghambat utama dalam penanganan berbagai persoalan di daerah. Salah satunya adalah konflik pertanahan dan sengketa izin perusahaan.
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), Didik Agung Eko Wahono, menilai bahwa pengalihan hampir seluruh kewenangan ke pemerintah pusat membuat daerah kesulitan dalam melakukan pengawasan maupun tindakan langsung terhadap permasalahan yang muncul di lapangan.
“Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, semua kewenangan menjadi terpusat di pemerintah pusat”, ujar Didik.
Menurutnya, kondisi ini menjadikan daerah seperti kehilangan kendali atas wilayahnya sendiri, terutama dalam pengelolaan sumber daya alam yang kerap kali menjadi sumber konflik.
Ia mencontohkan, dalam banyak kasus, pemerintah daerah bahkan tidak tahu-menahu ketika ada perusahaan yang memperoleh izin usaha di suatu kawasan, karena proses perizinannya langsung dikeluarkan oleh pusat.
“Akibatnya, baik pemerintah daerah maupun provinsi memiliki keterbatasan dalam melakukan pengawasan, bahkan dalam banyak hal tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengawasi”, ungkapnya.
Pun, dikatakannya bahwa Keadaan ini sudah berlangsung cukup lama, bahkan sejak awal kebijakan sentralisasi tersebut diberlakukan. Hal ini membuat DPRD dan pemerintah provinsi seperti berjalan di tempat dalam mengatasi masalah-masalah yang menyangkut lahan dan pengelolaan wilayah.
“Di pusat sudah lama, semua keputusan kini berada di tangan pemerintah pusat” tambahnya.
Didik juga menyoroti bagaimana banyaknya laporan masyarakat mengenai aktivitas perusahaan yang merugikan lingkungan atau merampas hak-hak lahan warga, namun daerah tak bisa mengambil tindakan hukum langsung karena tidak memiliki legalitas.
Ia menyayangkan bahwa kondisi ini menciptakan ketimpangan antara tanggung jawab daerah yang besar dengan kewenangan yang sangat terbatas. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah yang ideal.
Di tengah situasi tersebut, ia mendorong agar pemerintah pusat mengevaluasi kembali pola distribusi kewenangan, agar pemerintah daerah dapat berperan lebih aktif dalam menyelesaikan persoalan yang menyangkut masyarakat secara langsung.