Kaltimreport.com – DPRD Kalimantan Timur melayangkan kritik keras terhadap PT Kaltim Prima Coal (KPC) terkait penggunaan Jalan Poros Sangatta-Bengalon sebagai lintasan operasional truk pengangkut batubara. Jalan nasional yang merupakan akses utama penghubung antarwilayah itu dilaporkan telah digunakan secara aktif oleh perusahaan lebih dari satu tahun terakhir tanpa izin resmi yang sah.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Jahidin, menyebut praktik ini sebagai bentuk penyimpangan nyata terhadap aturan pemanfaatan infrastruktur publik. “Kalau belum ada izin resmi, itu sudah termasuk pelanggaran. Tidak bisa hanya mengandalkan rekomendasi,” ungkapnya saat rapat dengar pendapat bersama perwakilan KPC, Pada Jum’at lalu.
Menurutnya, klaim KPC yang menyatakan telah mengantongi ‘rekomendasi’ dari instansi terkait tidak bisa dijadikan dasar hukum penggunaan jalan negara. “Rekomendasi itu hanya bagian dari proses administrasi. Yang dibutuhkan adalah izin yang sah. Tanpa itu, penggunaan jalan negara untuk kepentingan komersial jelas melanggar aturan,” tegas Jahidin waktu temuin awak media kaltimreport usai rapat.
Jalan Poros Sangatta-Bengalon, lanjut Jahidin, adalah infrastruktur vital yang menghubungkan Berau, Sangatta, dan Samarinda. Penggunaannya secara sepihak oleh perusahaan tambang telah menimbulkan dampak langsung terhadap masyarakat. Salah satu keluhan terbesar datang dari pengguna jalan yang kerap terhambat akibat penutupan sementara saat truk tambang melintas. “Antrean kendaraan bisa mencapai 20 menit hanya karena satu unit truk mau menyeberang,” katanya.
Kondisi ini dianggap mencerminkan lemahnya komitmen KPC dalam membangun jalur alternatif sebagai kompensasi atas penggunaan fasilitas umum. Proyek jalan pengganti yang semestinya menjadi solusi, hingga kini belum rampung.
DPRD Kaltim mendesak Pemerintah Provinsi, Kementerian PUPR, serta aparat penegak hukum untuk turun tangan dan memberikan sanksi tegas bila ditemukan pelanggaran hukum. “Ini bukan sekadar soal tambang. Ini soal kedaulatan infrastruktur negara. Jalan itu milik rakyat. Kalau mau pakai, ya bangun dulu penggantinya sampai tuntas,” ujar Jahidin menegaskan.
Parlemen daerah menekankan bahwa pengawasan terhadap tata kelola infrastruktur publik harus diperketat, terutama terhadap sektor industri ekstraktif yang berpotensi merugikan masyarakat. “Kita tidak boleh abai. Kepatuhan terhadap aturan tata ruang dan penggunaan fasilitas publik adalah bentuk tanggung jawab sosial korporasi,” tutupnya.