PMII Samarinda Gelar Dialog Pembangunan, PUPR Fokus Pada Empat Masalah di Kota Samarinda Demi Kaltim yang Berdaulat

Kota Samarinda121 Dilihat

KALTIMREPORT.COM, SAMARINDA – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Samarinda mengadakan dialog pembangunan yang mengusung tema “Telaah Kota Peradaban Menuju Kalimantan Timur yang Berdaulat” di Gedung Rektor Universitas Mulawarman (Unmul) lantai 4 pada Jum’at, (29/9/2023).

Sejumlah tokoh penting turut hadir dalam kegiatan itu. Hadir Kepala Dinas PUPR Kaltim Fitra Firnanda, Kepala Dinas PUPR Kota Samarinda, Desy Damayanti, Akademisi Hukum Unmul Warkhatun Najidah, dan dua anggota DPRD Provinsi Kaltim komisi III dan IV, Sutomo Jabir dan Rusman Ya’qub serta Staf Khusus Wakil Rektor 3 UNMUL.

Dalam sambutan ketua panitia penyelenggara, menyebut kegiatan tersebut dibuka untuk umum dengan bebas bertanya kepada narasumber yang diundang, mengenai pembangunan di Provinsi Kaltim khususnya di Kota Samarinda.

“Ini bukan tempat menghakimi melainkan tempat berbagi informasi,” imbuhnya.

Staf Khusus Wakil Rektor III Unmul, membenarkan kegiatan itu tidak untuk menghakimi melainkan tempat berbagi informasi dan literasi. Pun juga UNMUL telah berkembang sebagai kampus yang peka terhadap perkembangan zaman dan tidak menutup diri untuk kegiatan pengayaan intelektual

Kadis PUPR Kaltim, Fitra Firnanda menyampaikan saat ini ia masih berusaha menangani banyak masalah di Kaltim dan juga ikut andil di wilayah Kota Samarinda. APBD Kaltim yang menyentuh angka 20 triliun lebih diarahkan Pemprov untuk pembangunan jalan, perbaikan jembatan, infrastruktur gedung dan juga program prioritas lainnya yakni Rumah Layak Huni sebanyak 5000 unit.

“Hingga akhir Pemerintahan Pak Isran-Hadi kami tetap berupaya menjalankan program yang menjadi tanggung jawab kami”, tambahnya.

Kepala Bidang Jabatan Fungsional Dinas PUPR Kota Samarinda, Hermin Wahyudi juga mengatakan terdapat empat masalah yang terus menerus dihadapi sampai saat ini, yang antaranya terdiri dari permasalahan banjir, kebinawargaan, cipta karya, dan pemukiman.

“Total titik banjir kita, ada 30 titik dan tidak semuanya bisa kita atasi karena ada sebagian yang memang daerahnya terdapat rawa, dan terbanyak ada di wilayah Karang Mumus sebesar 60 persen, 40 persennya di wilayah lain,” tandasnya saat membahas mengenai banjir di Samarinda.

Sementara Sutomo Jabir menuturkan bahwa pembangunan ini tidak hanya dititikberatkan pada selesainya pengerjaan proyek, melainkan penting mengukur pada proses pembangunan apakah telah sesuai dengan standar, ketaatan kontraktor dalam pengerjaan hingga melihat rekam jejak para pembangun ini.

“Perhatian penting harus fokus pada keselarasan antara perencanaan dan pengerjaan, karena ini juga bagian dari pengawasan serius yang apabila lalai berpotensi merugikan negara”, ujar Komisi III DPRD Kaltim

Legislatif karangpaci lainnya yakni Rusman Ya’qub mengatakan pembangunan inti harus dilihat pada upaya Pemerintah dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) apalagi proses menuju IKN ini semua sorotan tentu ke Kaltim. Maka itu, program pembangunan harus peka terhadap potensi dan skill yang dimiliki oleh masyarakat agar berdaya saing. Ia juga mengatakan terjadi peningkatan pembangunan dari 2021-2023 di Kaltim sehingga masyarakat tidak takut untuk tinggal di Kalimantan Timur.

“Terjadi peningkatan pembangunan di Kaltim yang kami amati selama 2 tahun terakhir, ini juga yang membuat orang-orang tidak takut hidup dan tinggal di Kaltim”. Tutup anggota Komisi IV DPRD Kaltim

Di lain sisi, Najidah yang merupakan akademisi Hukum UNMUL menuturkan aspek legal dalam pembangunan adalah hukum, namun sering terjadi upaya melangkahi hukum terjadi atas nama kebijakan. Alasan tidak ada aturan sering kali menjadi pembenar untuk membuat kebijakan pembangunan yang melanggar hukum, padahal hukum tidak selalu tentang aturan, melainkan terdapat norma lain yakni norma kepatutan dan kepantasan.

“Benar bahwa hukum itu fleksibel dengan perkembangan zaman, tapi ingat jika terdapat norma kepantasan dan kepatutan, sehingga dalam menyusun project pembangunan tolak ukurnya harus multi perspektif. Sehingga ketika terjadi penyelewengan barulah mencari-cari hukum dimana”, tegas Pengajar Hukum Tata Negara UNMUL (An/Admin).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *